Jakarta (ANTARA) - Hutan rawa gambut Indonesia rata-rata menyimpan sekitar 2.650 ton karbon (C) per hektare sehingga total karbon yang ditampung sekitar 46 giga ton, atau 8-14 persen dari seluruh karbon yang ada di lahan gambut dunia.
"Jumlah nilai C pada biomassa di permukaan tanah gambut antara 242-518 ton C/ha untuk hutan yang tak terganggu, 110-221 ton C/ha untuk yang terganggu, dan 89-237 ton C/ha pada hutan bekas terbakar," kata Pakar Ekologi dari LIPI Dr. Herwint Simbolon yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Hutan rawa gambut Indonesia, lanjut dia, rata-rata memiliki 120-150 ton karbon/ha pada biomassa di atas tanah, ditambah 10 kali lipatnya yang terkandung di bawah tanah sekitar 2.500 ton karbon/ha.
Karena itu, hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang paling penting di antara berbagai tipe ekosistem lainnya karena mampu menjadi paru-paru dunia, apalagi termasuk tipe hutan yang sangat tinggi keanekaragaman jenisnya, ujarnya.
Ia menjelaskan lahan gambut mampu mengikat karbon di udara dan menyimpannya menjadi bahan organik berupa bagian dari tumbuhan melalui fotosintesis.
Gambut merupakan ekosistem lahan basah yang terbentuk akibat terakumulasinya bahan organik, seperti jatuhan ranting, daun, atau buah di lantai hutan yang basah dan tergenang selama ribuan tahun sehingga menjadi gudang penyimpanan residu bahan organik vegetasi.
"Usia karbon gambut Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa gambut di sana terbentuk sejak 9.740 tahun lalu dengan laju ketebalan gambut berkisar 0,2-1,13 mm per tahun di daerah pedalaman atau 1,67 mm per tahun di daerah pantai," katanya.
Periode panjang ini, lanjut dia, membuat akumulasi gambut terjadi terus-menerus hingga saat ini ketebalan lantai lahan gambut Indonesia dapat mencapai 12 meter lebih. Sekitar 50-60 persen dari berat keringnya mengandung karbon.
Karena itu, ia menyesalkan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG) pada 1995 dengan tujuan membuka lahan pertanian yang menghancurkan hutan gambut, dan lebih parah lagi tanpa riset memadai menggali kanal di lahan gambut dengan tujuan mengatur tata air untuk kepentingan pertanian.
"Kanalisasi telah membelah kubah-kubah gambut sehingga yang terjadi bukannya untuk menata air, melainkan mengeringkan lahan gambut dan membuatnya jadi mudah terbakar. Pada masa El Nino 1997 terbakarlah sejuta hektare lahan proyek ini," katanya.
Menurut dia, gambut sebenarnya merupakan tandon air tawar raksasa karena memiliki porositas tinggi dan mampu menyerap air sampai sekitar 450-900 persen dari berat kering gambut itu sendiri.
Disebutkannya luasan gambut Indonesia mencapai 14,9-26,5 juta ha atau 10,8 persen dari wilayah Indonesia yang tersebar di Sumatera seluas 7,2 juta ha, Kalimantan 5,8 juta ha, Papua 7,9 juta ha, dan di pulau lainnya 0,5 juta ha.