VIVAnews - Pulau Bali pernah geger gara-gara beredar sebuah film dokumenter, 'Cowboys In Paradise' -- yang menggambarkan kehidupan gigolo di Pantai Kuta.
Meski telah berlalu, efek film dokumenter itu masih dirasakan di Pulau Dewata, khususnya kawasan Kuta. Pandangan negatif masih diarahkan ke para surfer berkulit coklat di pantai itu.
Saat ini, hati-hati menyebut istilah 'Koboi Kuta' pada pemuda-pemuda pantai di Kuta. Mereka akan marah.
"Ini kebohongan besar, tidak ada koboi di sini," kata I Made Subali, pria berkulit coklat dengan tato tengkorak di badannya,
Kata dia, Virmani telah salah menginterpretasikan komunitas surfing. Sutradara itu juga memanipulasi keterangan sejumlah surfer dalam film dokumenter itu.
Akibatnya, pemeran film dokumenter itu dilihat sebagai pembuat masalah -- beberapa di antaranya telah meninggalkan Bali.
Seperti dimuat laman Los Angeles Times, Kamis 1 Juli 2010, film menghebohkan itu diawali dari kunjungan sutradara, Amit Virmani ke Kuta. Dia mengaku bertemu dengan remaja 12 tahun yang punya impian aneh, ingin cepat dewasa dan menjadi gigolo.
Bocah itu bercerita tentang sekelompok surfer berkulit coklat yang menggaet turis perempuan asing, terutama Jepang -- memberi layanan seksual. Mereka disebut 'Kuta Cowboys' atau 'Koboi Kuta'.
"Saya lalu bertanya-tanya, siapa yang disebut koboi itu? Bagaimana kehidupan mereka," ujar Virmani, yang asal Singapura.
Setelah itu, selama dua tahun Virmani mengelilingi Kuta, mengambil gambar-gambar yang kemudian dia susun menjadi sebuah film dokumenter.
Virmani tak menyangka filmnya jadi kontroversi. Dia bahkan mengaku kaget dengan reaksi aparat di Bali yang memperkarakan orang-orang yang ada dalam filmnya.
Saat dirilis 2009 lalu, film ini membuat marah penduduk Bali. Satuan Tugas Pantai Kuta menciduk 28 pria berbadan kekar tanpa identitas dalam razia di Pantai Kuta.
"Mereka tidak seharusnya menahan seseorang hanya karena dia berkulit coklat terbakar matahari dan berotot," kata dia.
Kata Virmani, film yang dia buat bukan untuk mendiskreditkan hubungan laki-laki kelas pekerja lokal dan turis perempuan asing kaya.
"Para koboi bukan pelacur. Tapi merupakan bagian penting dari ekonomi lokal," katanya.
"Mereka punya pekerjaan sehari-hari, lalu bertemu perempuan asing dan menemukan cara-cara kreatif untuk mendapatkan penghasilan."
Dalam film itu Virmani juga mewawancarai turis asing. Satu di antaranya membela para pemuda pantai. "Saya tidak setuju mereka dikatakan gigolo. Mereka hanya suka perempuan, tak ada yang salah dengan itu."
Sementara, seorang surfer mengatakan wanita harus menghujaninya dengan hadiah agar dia selalu lengket, meski tak semua koboi mensyaratkan hal yang sama. Ada juga tak tak meminta kompensasi. Beberapa di antaranya bahkan terikat secara emosinal, dan bahkan menikahi perempuan asing. "Saya bukan gigolo," kata seseorang di dalam film dokumenter.
Gigolo tidak menggunakan hati, mereka hanya pakai rasio. "Saya berbicara dari hati."
Sementara, kepala pengamanan Kuta, Gusti Tresna mengatakan film dokumenter itu menunjukkan wajah Kuta sebagai lokasi permainan seks.
"Kami tidak bisa menyangkal, itu memang terjadi. Tapi jika seorang perempuan datang berlibur dan dekat dengan pria lokal, lalu jatuh cinta dan memutuskan membelikan pria itu motor bahkan rumah, apa yang bisa dilakukan pemerintah?"
Meski telah berlalu, efek film dokumenter itu masih dirasakan di Pulau Dewata, khususnya kawasan Kuta. Pandangan negatif masih diarahkan ke para surfer berkulit coklat di pantai itu.
Saat ini, hati-hati menyebut istilah 'Koboi Kuta' pada pemuda-pemuda pantai di Kuta. Mereka akan marah.
"Ini kebohongan besar, tidak ada koboi di sini," kata I Made Subali, pria berkulit coklat dengan tato tengkorak di badannya,
Kata dia, Virmani telah salah menginterpretasikan komunitas surfing. Sutradara itu juga memanipulasi keterangan sejumlah surfer dalam film dokumenter itu.
Akibatnya, pemeran film dokumenter itu dilihat sebagai pembuat masalah -- beberapa di antaranya telah meninggalkan Bali.
Seperti dimuat laman Los Angeles Times, Kamis 1 Juli 2010, film menghebohkan itu diawali dari kunjungan sutradara, Amit Virmani ke Kuta. Dia mengaku bertemu dengan remaja 12 tahun yang punya impian aneh, ingin cepat dewasa dan menjadi gigolo.
Bocah itu bercerita tentang sekelompok surfer berkulit coklat yang menggaet turis perempuan asing, terutama Jepang -- memberi layanan seksual. Mereka disebut 'Kuta Cowboys' atau 'Koboi Kuta'.
"Saya lalu bertanya-tanya, siapa yang disebut koboi itu? Bagaimana kehidupan mereka," ujar Virmani, yang asal Singapura.
Setelah itu, selama dua tahun Virmani mengelilingi Kuta, mengambil gambar-gambar yang kemudian dia susun menjadi sebuah film dokumenter.
Virmani tak menyangka filmnya jadi kontroversi. Dia bahkan mengaku kaget dengan reaksi aparat di Bali yang memperkarakan orang-orang yang ada dalam filmnya.
Saat dirilis 2009 lalu, film ini membuat marah penduduk Bali. Satuan Tugas Pantai Kuta menciduk 28 pria berbadan kekar tanpa identitas dalam razia di Pantai Kuta.
"Mereka tidak seharusnya menahan seseorang hanya karena dia berkulit coklat terbakar matahari dan berotot," kata dia.
Kata Virmani, film yang dia buat bukan untuk mendiskreditkan hubungan laki-laki kelas pekerja lokal dan turis perempuan asing kaya.
"Para koboi bukan pelacur. Tapi merupakan bagian penting dari ekonomi lokal," katanya.
"Mereka punya pekerjaan sehari-hari, lalu bertemu perempuan asing dan menemukan cara-cara kreatif untuk mendapatkan penghasilan."
Dalam film itu Virmani juga mewawancarai turis asing. Satu di antaranya membela para pemuda pantai. "Saya tidak setuju mereka dikatakan gigolo. Mereka hanya suka perempuan, tak ada yang salah dengan itu."
Sementara, seorang surfer mengatakan wanita harus menghujaninya dengan hadiah agar dia selalu lengket, meski tak semua koboi mensyaratkan hal yang sama. Ada juga tak tak meminta kompensasi. Beberapa di antaranya bahkan terikat secara emosinal, dan bahkan menikahi perempuan asing. "Saya bukan gigolo," kata seseorang di dalam film dokumenter.
Gigolo tidak menggunakan hati, mereka hanya pakai rasio. "Saya berbicara dari hati."
Sementara, kepala pengamanan Kuta, Gusti Tresna mengatakan film dokumenter itu menunjukkan wajah Kuta sebagai lokasi permainan seks.
"Kami tidak bisa menyangkal, itu memang terjadi. Tapi jika seorang perempuan datang berlibur dan dekat dengan pria lokal, lalu jatuh cinta dan memutuskan membelikan pria itu motor bahkan rumah, apa yang bisa dilakukan pemerintah?"
woww . . . bener juga ni, harus diwaspadai, makasih sob infonya, jadi tau ni ane ^_^
BalasHapus