PENGUMUMAN

Untuk sementara BLOG ARBONMANIA.COM sedang dalam masa perbaikan/repairing. Sehingga bagi para Visitor harap maklum. untuk kedepannya, admin blog ARBONMANIA.COM minta saran dan kritik dari para visitor ekalian. silahkan tulis saran dan kritik anda dikotak SM atau CB. terimakasih.

About Me

Foto saya
bojonegoro, JAWA TIMUR, Indonesia
Saya seorang pelajar asal kampung yang ingin bisa dikenal oleh masyarakat Indonesia dan Dunia

Admin Chat

BADGE

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer ResourcesFree Naruto GamesFree Image Hosting

Search

Rabu, 11 Agustus 2010

"Nyadran" Sambut Ramadhan?


Yahoo-RamadhanPagi itu, suasana di makam Nggunung, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, cukup ramai. Sejak pukul 06.30 WIB orang-orang sudah terlihat berdatangan ke makam yang terletak di kaki Gunung Merapi ini. Ada yang membawa cangkul, sabit, pemotong rumput, sapu, dan juga golok. Di situ rupanya leluhur mereka dikubur.



Mereka membersihkan pusara sang leluhur. Lumut-lumut hijau maupun rumput yang tumbuh menempel di pusara dibabat dan dibersihkan habis tanpa sisa. Gundukan tanah yang tadinya rata, dibuat menggunung lagi.

Bersih-bersih makam itu adalah pembuka dari prosesi sadranan atau nyadran yang setiap tahun diperingati umat Islam di daerah pedesaaan di Jawa Tengah. Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa.

Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Sya'ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa. Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya.

Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri.
Setelah membersihkan makam, panitia sadranan memutar kaset yang berisi lantunan ayat suci Alquran. Sejurus kemudian, warga membawa sebuah tenong atau sejenis nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu beralaskan daun pisang atau daun jati.

Ratusan tenong ditata berjajar rapi itu berisi aneka macam sesajian. Seperti halnya kue, roti, jajanan pasar, makanan dan lain sebagainya. Setelah tenong terkumpul di sekitar tanah pemakaman, selanjutnya pemuka agama memulai acara dengan pembacaan tahlil.

Selama pembacaan doa itu, anak-anak hingga orang dewasa duduk berbaris mengikuti alur tatanan barisan tenong. Kemudian ratusan tenong itu diletakkan di sekitar pemakaman dengan alur penataan memanjang. Makanan ini akan makan oleh anak-anak maupun orang dewasa tatkala semua prosesi sadranan usai.

Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal.

Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai.
Menurut salah seorang budayawan, Mufti Rahardjo, tradisi sadran memang menjadi salah satu kearifan lokal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Puasa. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa meyakini bisa berkomunikasi dengan leluhurnya. Sebab itu, tradisi ini diakui sebagai wujud ngabekti pada leluhur yang telah meninggal. Sekaligus mendoakan para leluhur agar ditempatkan di surga.

Budaya sadranan ini memang berakar pada tradisi Jawa. Bisa dikatakan, tradisi yang mulai dilakukan 30 hari sebelum puasa ini merupakan salah satu akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam.

Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa.

Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
Tradisi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Karena ini merupakan wujud bakti seorang anak kepada orangtua dan leluhur yang telah meninggal.

Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.

"Tradisi ini memiliki arti sebuah nilai religi-sosiokultural. Di mana nilai-nilai religi menjadi sebuah tradisi yang empirik. Seperti silaturahmi, yang membuat tali persaudaraan lebih erat dan kental kekerabatan," kata budayawan, Mufti Rahardjo.




0 Komentar:

Posting Komentar

silahkan beri pendapat tentang informasi diatas.

Jadwal Mivo TV

Make Widget